5.23.2009

PRESS RELEASE : DPC KONFEDERASI SERIKAT PEKERJA SELURUH INDONESIA (SPSI) KAB. SUKABUMI DALAM RANGKA PERINGATAN HARI BURUH SEDUNIA (MAY DAY) 2009

Peringatan Hari Buruh Se-dunia tahun ini menyisakan rasa keprihatinan sekaligus kepedihan bagi buruh Sukabumi. Disamping masalah-masalah klasik yang masih saja terjadi dan terus terulang di Kabupaten Sukabumi seperti pelanggaran hak-hak normative buruh, hal lain yang mengundang keprihatinan buruh Sukabumi dan jaringan buruh nasional dan internasional adalah terinjak-injaknya kebebasan berserikat dan berpendapat mengemukakan pikiran baik lisan maupun tulisan sebagaimana dijamin dalam Konvensi ILO, Universal Declaration of Human Rights (UDHR) dan UUD 1945 yang kemudian dipertegas dalam UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Kaitannya dengan peringatan Hari Buruh Sedunia (May Day) tahun ini, Dewan Pimpinan Cabang Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (DPC K-SPSI) Kabupaten Sukabumi merasa perlu menyampaikan penyikapan terhadap masalah-masalah sebagai berikut :
1. MASALAH KASUS BURUH PT. DAVOMAS ABADI TBK - SUKABUMI
Peristiwa yang dialami oleh buruh PT. Davomas Abadi Tbk – Sukabumi jelas mempertontonkan kepada public tentang penindasan yang dialami oleh kaum buruh di Sukabumi dimana hak-hak normative buruh berupa upah selama 3 (tiga) bulan sampai hari ini belum dibayarkan, hak pesangon buruh yang sudah melalui proses peradilan yang ‘jelimet’ dan telah keluar putusan kasasi MA serta telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (in kracht) sampai hari ini belum dibayarkan oleh pengusaha. Proses peradilan yang cepat, sederhana dan biaya murah yang semestinya diterapkan dalam setiap proses peradilan TERNYATA TIDAK BERLAKU BAGI KAUM BURUH.
Sementara ketika buruh menuntut hak dan menyuarakan keadilan, direkayasa menjadi upaya kriminalisasi yang berujung pada digugatnya buruh ke pengadilan dan dilaporkannya buruh pada aparat kepolisian. Dan kita belum tahu apakah aparat penegak hukum cepat respons atau tidak untuk menindaklanjuti keinginan pengusaha? Atau sama saja berbelit-belit dan tidak greget-nya sikap pengadilan ketika menghadapi buruh?
Hukum dan pengadilan yang diharapkan sebagai tempat bersandarnya perjuangan keadilan bagi buruh ternyata belum berpihak pada buruh. Terbukti dengan semakin tidak jelasnya eksekusi putusan MA yang jelas-jelas telah memenangkan buruh yang sampai hari ini digantung begitu saja sehingga semakin membuat ketidakpastian bagi buruh.
Dari kasus PT. Davomas Abadi Tbk – Sukabumi sangat terlihat semakin tidak jelasnya posisi pemerintah sebagai pengambil kebijakan bahkan pemerintah cenderung lemah dan tidak berdaya. Dimana bukan hanya buruh yang telah diinjak-injak oleh PT. Davomas Abadi Tbk – Sukabumi tapi pemerintah juga mulai dari camat, kepala dinas, bupati, Direktur PPHI Depnakertrans RI, Komisi IX dan lainnya telah dilecehkan oleh perusahaan.
Tapi persoalannya, pemerintah pun tidak pernah berani bertindak tindak dan berani untuk menjaga harga diri dan martabatnya ketika sudah dilecehkan oleh pengusaha.
2. MASALAH SISTEM KERJA KONTRAK DAN OUTSOURCING.
Dimana implementasi sistem kerja kontrak/perjanjian kerja waktu tertentu/PKWT dan outsorcing yang ada di wilayah Kabupaten Sukabumi sudah tidak sesuai dan sudah keluar dari koridor ketentuan sebagaimana yang diatur dalam ketentuan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Sebagaimana diketahui sesuai dengan ketentuan Pasal 59 UU No. 13 Tahun 2003 bahwa sistem kerja kontrak atau perjanjian kerja waktu tertentu hanya bisa diberlakukan untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu yaitu : pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya, pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun, pekerjaan yang bersifat musiman dan pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
Dan sistem kerja kontrak atau perjanjian kerja waktu tertentu itu sebagaimana diatur dalam ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003 hanya bisa diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.
Tapi apa yang terjadi dilapangan? Hampir seluruh perusahaan terutama sektor garment dan elektronik yang menyerap tenaga kerja terbesar di Kabupaten Sukabumi hampir semuanya memberlakukan sistem kerja kontrak atau memberlakukan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) terhadap semua pekerja, bukan hanya terhadap pekerjaan tertentu yang diatur dalam Pasal 59 UU No. 13 Tahun 2003 sebagaimana dimaksud diatas tapi hampir terhadap semua jenis pekerjaan yang dijalankan oleh perusahaan.
Sehingga pekerja selamanya bekerja dengan status sebagai pekerja kontrak walaupun mereka bekerja puluhan tahun, dan ketika hubungan kerja putus tidak mendapat pesangon karena statusnya sebagai pekerja kontrak. Dan kondisi tersebut seakan terus dibiarkan tanpa pernah diambil tindakan penegakan hukum yang tegas, padahal sangat jelas bahwa hal tersebut merupakan pelanggaran yang harus diproses secara hukum. Pembiaran terhadap kondisi tersebut akhirnya memposisikan pekerja dalam posisi yang tidak berdaya dan terus dirugikan.
Kondisi diatas diperparah lagi dengan pemberlakuan outsourcing atau pemborongan pekerjaan yang juga memberlakukan sistem kerja kontrak atau perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) di beberapa sektor usaha tertentu yang implementasinya sangat merugikan pihak pekerja/buruh. Dimana realitasnya pemberlakukan PKWT pada perusahaan ourtourcing atau perusahaan jasa pekerja/buruh ini tingkat kesejahteraannya jauh lebih rendah dibandingkan dengan pekerja/buruh pada perusahaan pemberi pekerjaan.
Dan yang menyedihkan lagi banyak pekerja yang bekerja bertahun-tahun bahkan puluhan tahun tanpa pernah putus atau berhenti di lokasi pekerjaan yang sama tapi statusnya tetap saja sebagai karyawan kontrak, karena perusahaan outsourcing-nya selalu berganti-ganti perusahaan sementara obyek pekerjaan, lokasi pekerjaan dan perusahaan pemberi pekerjaannya sama.
Sehingga pemberlakuan outsourcing dalam UU Ketenagakerjaan yang seharusnya dimaksudkan untuk melakukan perubahan struktural dalam pengelolaan usaha dengan cara memperkecil rentang kendali manajemen sehingga lebih efektif, efesien dan produktif tapi kenyataan di lapangan sudah dimanipulasi sedemikian rupa untuk bisa menggunakan tenaga kerja/buruh murah dan pengusaha bisa menghindar dari kewajiban memberikan kesejahteraan dan perlindungan tenaga kerja karena tanggungjawab tersebut diserahkan kepada pihak lain yang menjadi mitra perusahaan pemberi pekerjaan.
SEKALI LAGI IMPLEMENTASI SISTEM KERJA KONTRAK/PKWT DAN OUTSOURCING YANG ADA DI KABUPATEN SUKABUMI SUDAH TIDAK SESUAI DAN SUDAH BANYAK YANG KELUAR DARI KORIDOR KETENTUAN UU NO. 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN.
Dan pada tataran yang lebih luas, system kerja kontrak dan outsourcing sangat merugikan kaum buruh. Tapi celakanya, pemerintahan terus berganti tapi tidak ada satupun pejabat negara dan kepala pemerintahan yang pro-buruh. Yang ada hanya pemerintahan yang mengabaikan hak-hak dan perlindungan buruh yaitu dengan MELANGGENGKAN SISTEM KERJA KONTRAK DAN OUTSOURCING.
3. MASALAH PERLINDUNGAN TENAGA KERJA PEREMPUAN
Tenaga kerja perempuan menempati proporsi terbesar dalam komposisi tenaga kerja di Kabupaten Sukabumi khususnya pada sektor industri padat karya yang didominasi industri garment dan elektronik.
Mengingat proporsi pekerja perempuan yang besar tersebut maka perlu ada upaya yang serius dari pemerintah untuk melakukan perlindungan terhadap pekerja perempuan. Upaya perlindungan pekerja perempuan tersebut perlu dilakukan baik dalam lingkungan perusahaan itu sendiri maupun diluar perusahaan khususnya bagi pekerja perempuan yang melakukan pekerjaan pada malam hari.
Sudah menjadi pemandangan rutin di beberapa tempat atau sentra industri banyak pekerja perempuan yang baru pulang kerja ‘tercecer’ di keremangan malam karena menunggu lama kendaraan umum. Masih mending kalau lokasi perusahaannya pinggir jalan raya yang dilalui kendaraan umum, tapi yang memprihatinkan sebagian lokasi perusahaan ada yang jauh dari jalan raya yang dilalui kendaraan umum. Sehingga bagi pekerja perempuan yang berangkat kerja atau pulang kerja larut malam sangat membahayakan bagi keselamatan pekerja perempuan itu sendiri.
Begitu juga diperlukan perlindungan pekerja perempuan sebagai akibat dari adanya hubungan kerja antara pekerja dengan pengusaha melalui pemenuhan hak cuti haid, cuti melahirkan, tidak masuk kerja karena sakit dan sejenisnya, mengingat masih adanya perusahaan yang belum memenuhi hak tersebut. Bahkan ada beberapa kasus pekerja perempuan yang meminta hak cuti melahirkan tapi upah selama cuti melahirkannya tidak dibayar atau hanya dibayar sebagian.
Kondisi tersebut apabila terus dibiarkan akan semakin menambah panjang deret penderitaan pekerja perempuan, dan dikhawatirkan nantinya akan menimbulkan assumsi bahwa banyaknya perusahaan yang memerlukan pekerja perempuan bukan semata-mata karena tuntutan bidang pekerjaan yang memang tepat dilakukan oleh perempuan tapi karena tenaga kerja perempuan dianggap lemah dan mudah ditindas.
4. MASALAH PEMBINAAN DAN PENEMPATAN TENAGA KERJA ASING
Menjamurnya invertor asing di Kabupaten Sukabumi memberikan konsekuensi logis pada banyaknya berdatangan tenaga kerja asing di daerah ini. Penggunaan tenaga kerja asing semestinya dimaksudkan untuk melakukan transfer of knowledge dan transfer of technology mengingat terbatasnya sumber daya manusia local yang berkemampuan untuk itu. Dan tenaga kerja asing semestinya hanya mengisi jabatan-jabatan tertentu yang tidak bisa diisi dengan tenaga kerja local mengingat kemampuannya yang belum sepadan dengan tenaga kerja asing yang dibutuhkan tersebut. Sementara keberadaan tenaga-tenaga kerja asing itu sebenarnya tidak lebih hebat dari tenaga kerja local atau pribumi.
Tapi apa yang terjadi di Sukabumi, penggunaan tenaga kerja asing tidak lagi dimaksudkan untuk transfer of knowledge dan transfer of technology tapi bisa mengisi semua posisi dan jabatan yang sebenarnya bisa diisi oleh putera-puteri daerah yang berkwalitas. Dan penggunaan tenaga kerja asing itu dibiarkan terus tanpa ada upaya pembinaan sehingga sangat merugikan bagi keberadaaan buruh di Sukabumi.
Belum lagi dengan keberadaan tenaga kerja asing yang tidak dibekali dengan pemahaman budaya lokal dan budaya indonesia pada umumnya dan juga tidak dibekali dengan PEMAHAMAN HUKUM KETENAGAKERJAAN DI INDONESIA sehingga membuat mereka bertindak seenaknya sendiri dan merendahkan martabat buruh Sukabumi.
Dan lucunya lagi pemerintah daerah seakan mengalami penyakit ‘inferior complex’ atau rasa kagok, rasa gak enak, rasa sungkan dan rasa minder untuk membina orang asing atau mungkin disebabkan karena pemerintah daerah hanya butuh PAD-nya saja dari orang asing sehingga tidak merasa perlu untuk membina dan mengawasinya.
Kondisi tersebut berimplikasi negative pada terciptanya jurang pemisah antara tenaga kerja asing dengan buruh lokal. Dimana tenaga kerja asing dianggap tidak pernah dinyatakan bersalah walaupun melakukan kesalahan oleh perusahaan, tenaga kerja asing dianggap juragan besar yang harus dihormati sementara buruh lokal dianggap inhlander atau anjing pribumi yang bisa diinjak-injak dan ditunjuk-tunjuk atau diperintah walaupun dengan menggunakan kaki sang juragan. Tenaga kerja asing berantem di pabrik dibiarkan begitu saja karena kebal akan hukum, sementara buruh lokal berteriak keras saja di pabrik langsung dikeluarkan tanpa diberikan pesangon. Dan kita juga tidak tahu persis apakah semua tenaga kerja asing itu mempunyai visa kerja atau hanya menggunakan visa turis yang disalahgunakan untuk bekerja?
Ini jelas sebuah ironi yang menyinggung martabat kita sebagai bangsa, yang merendahkan harga diri kita sebagai masyarakat yang berdaulat, dan melecehkan nilai-nilai kemanusiaan kita, buruh kita yang semestinya berlaku secara universal.
5. MASALAH JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA (JAMSOSTEK)
Setiap tenaga kerja dan keluarganya berhak atas jaminan sosial tenaga kerja (sebagaimana diatur dalam Pasal 99 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Pasal 3 UU No. 3 Tahun 1992 tentang Jamsostek).
Dimana ketentuan diatas dipertegas dengan PP No. 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja, yang dalam ketentuan Pasal 2 ayat (3) bahwa PENGUSAHA YANG MEMPEKERJAKAN TENAGA KERJA SEBANYAK 10 (SEPULUH) ORANG ATAU LEBIH, ATAU MEMBAYAR UPAH PALING SEDIKIT RP. 1000.000,- (SATU JUTA RUPIAH) SEBULAN, WAJIB MENGIKUTSERTAKAN TENAGA KERJANYA DALAM PROGRAM JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA.
Dimana program jamsostek itu sendiri terdiri dari : Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Jaminan Kematian (JK) dan Jaminan Hari Tua (JHT) serta Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK). Ketentuan sebagaimana dimaksud diatas belum sepenuhnya diterapkan di Kabupaten Sukabumi atau dengan kata lain belum semua perusahaan mengikutsertakan pekerjanya dalam program jaminan sosial tenaga kerja (JAMSOSTEK) dengan beberapa klasifikasi sebagai berikut :
- Masih ada perusahaan yang sama sekali belum mengikutsertakan tenaga kerjanya dalam Program Jamsostek.
- Masih ada perusahaan yang baru mengikutsertakan sebagian tenaga kerjanya dalam Program Jamsostek (PDS TK).
- Masih ada perusahaan yang mengikutsertakan tenaga kerjanya menjadi peserta jamsostek tapi pelaporan upahnya dibawah upah yang seharusnya dibayarkan (PDS UPAH). 081218525744
- Masih ada perusahaan yang baru mengikutsertakan tenaga kerjanya menjadi peserta jamsostek tapi hanya jaminan kecelakaan kerja (JKK), Jaminan Kematian (JK) dan Jaminan Hari Tua (JHT), sedangkan tapi belum diikutsertakan dalam Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) ---- (PDS PROGRAM).
Mengingat Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK) merupakan hak dasar bagi setiap pekerja, maka sudah menjadi kewajiban setiap perusahaan untuk mengikutsertakan pekerjanya dalam program jamsostek tanpa ada kecuali sesuai yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan yang berlaku, DENGAN CATATAN BAHWA KWALITAS KINERJA PELAYANAN DARI PT. JAMSOSTEK (PERSERO) JUGA SEBAGAI BADAN PENYELENGGARA HARUS TERUS DITINGKATKAN.
Hal yang tidak kalah pentingnya dalam pelaksanaan program jamsostek ini adalah perilaku sebagin aparat Pelaksana Pelayanan Kesehatan (PPK) yang ditunjuk atau bermitra dengan PT. JAMSOSTEK (Persero), baik itu klinik, puskesmas dan rumah sakit rujukan yang masih ada bertindak diskriminatif terhadap tenaga kerja yang berobat atau menjadi pasien di tempat-tempat yang disebutkan datas.
Masih adanya anggapan dari sebagian aparat pelaksana pelayanan kesehatan yang menganggap bahwa pasien yang menjadi peserta jamsostek dianggap atau disamakan dengan pasien ASKESKIN, sangat merugikan bagi tenaga kerja peserta jamsostek yang berobat di tempat-tempat pelayanan kesehatan yang ditunjuk.
Padahal semestinya kalau berpegang pada prinsif layanan publik, pasien pemegang kartu ASKESKIN yang diberikan secara cuma-cuma oleh pemerintah saja tidak boleh diperlakukan diskriminatif apalagi terhadap peserta jamsostek yang jelas-jelas membayar melalui iuran program jamsostek jelas sangat tidak adil kalau diperlakukan diskriminatif.
5. MASALAH BANYAKNYA KELEBIHAN JAM KERJA YANG TIDAK DIBAYAR LEMBUR/SKORSING
Seperti dijelaskan dalam ketentuan Pasal 77 UU No. 13 Tahun 2003 bahwa setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentuan jam kerja selama 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
Maka berdasarkan ketentuan diatas, kelebihan jam kerja dari apa yang diatur tersebut harus dibayar sebagai upah kerja lembur.
Tapi kenyataan yang ada dilapangan, khususnya perusahaan yang mempekerjakan pekerja yang didominasi pekerja perempuan seperti perusahaan garment dan elektronik masih ditemukan kasus kelebihan jam kerja tetapi tidak dibayar upah kerja lemburnya. Perusahaan selalu berdalih tidak memberikan upah kerja lembur karena target belum tercapai.
Padahal dalam ketentuan UU Ketenagakerjaan tidak ada pengecualian untuk membebaskan pengusaha membayar kewajiban upah kerja lembur apabila mempekerjakan pekerja melebihi jam kerja yang ditentukan.
Kondisi tersebut jelas sangat merugikan pekerja dan itu jelas-jelas merupakan tindakan eksploitasi terhadap pekerja apalagi yang menjadi korbannya kebanyakan pekerja perempuan. Dan pembiaran terhadap kondisi tersebut, akan semakin melanggengkan penindasan terhadap kaum pekerja/buruh.
6. MASALAH MASIH ADANYA PERUSAHAAN YANG MEMBAYAR UPAH DIBAWAH UPAH MINIMUM
Upah yang ada di Kabupaten Sukabumi relatif lebih rendah dibandingkan kabupaten/kota lain. Sikap pekerja yang bisa menerima keberadaan upah minimum Kabupaten Sukabumi yang relatif rendah tersebut semestinya dihargai sebagai upaya dukungan terhadap pemerintah daerah yang masih memerlukan banyak investasi dan menyediakan lapangan kerja sebanyak-banyaknya mengingat tingkat pengangguran yang masih tinggi.
Karena kalau diakui secara jujur, daya tarik investasi di Kabupaten Sukabumi lebih banyak ditentukan karena besaran upah yang relatif rendah dan kondisi hubungan industrial yang relatif kondusif dibandingkan dengan kabupaten/kotalain. Sementara daya tarik investasi lain diluar upah nyaris tidak ada, apalagi dengan kondisi infrastruktur yang amburadul dan birokrasi perijinan juga tidaklah lebih baik dibandingkan dengan daerah lain.
Disamping itu juga masih tingginya biaya siluman (invisible cost) yang berimplikasi pada ekonomi biaya tinggi serta masalah lain yang masih menjadi penghambat investasi.
Jadi sangat jelas, mengalirnya investasi lebih banyak ditentukan upah yang relatif masih rendah dan sikap buruh/pekerja yang ‘familiar’ atau kondisi hubungan industrial yang kondusif. Dan, berangkat dari kondisi tersebut mestinya pemerintah daerag terhadap buruh dengan cara melindungi dan memperhatikan nasib kaum pekerja/buruh di Kabupaten Sukabumi.
TAPI PERSOALANNYA, DENGAN UPAH YANG RELATIF RENDAH TERSEBUT MASIH ADA SAJA PERUSAHAAN YANG MEMBAYAR UPAH DIBAWAH UPAH MINIMUM (KHSUSUSNYA UPAH MINIMUM SEKTORAL YANG BERLAKU DI KAB. SUKABUMI), DAN TERHADAP KONDISI TERSEBUT MASIH DILAKUKAN PEMBIARAN OLEH PEMERINTAH.
7. MASALAH LEMAHNYA KINERJA PENGAWAS KETENAGAKERJAAN DI KABUPATEN SUKABUMI.
Rentetan kasus dan pelanggaran hak-hak normative terhadap buruh serta sikap pembangkangan yang dilakukan oleh pengusaha tidak terlepas dari lemahnya kinerja pengawasan pada Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Sukabumi.
Pelanggaran hak-hak normative buruh terus dibiarkan sehingga menjadi ‘endemik’ yang susah untuk dihentikan. Pelanggaran hak-hak normative buruh dianggap sebuah kewajaran tanpa ada tindakan hukum yang dilakukan. Sementara kalau buruh sedikit saja melakukan kesalahan langsung divonis dan tidak alasan untuk membangkang karena melawanpun dengan upaya hukum hasilnya nasib semakin tidak jelas jeluntrungannya karena harus menunggu proses hukum yang jelimet dan tidak berpihak pada buruh.
Disamping terbatasnya personil dan belum maksimalnya peran pengawas ketenagakerjaan yang menjadi salah satu factor penyebab rendahnya kinerja pengawasan, juga diperparah lagi dengan perilaku oknum pengawas yang menyimpang. Sehingga dampaknya jelas sangat merugikan pekerja dan mendistorsi sistem dan pembinaan ketenagakerjaan yang ada di Kabupaten Sukabumi.
Perilaku pengawas ketenagakerjaan yang menyimpang tersebut harus segera ditertibkan karena membuat sistem kenegakerjaan menjadi carut-marut dan untuk jangka menengah dan jangka panjang bisa menjadi ‘gunung es’ yang pada saat cair bisa menimbulkan instabilitas dalam hubungan industrial di Kabupaten Sukabumi.
Pelanggaran yang terjadi yang semestinya ditindak tegas tapi terus dibiarkan karena kinerja pengawas ketenagakerjaan yang buruk tersebut, dan juga akibat tidak efektifnya PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil) yang diberi kewenangan oleh UU No. 13 Tahun 2003 untuk melakukan penegakan hukum dibidang ketenagakerjaan tidak pernah menjalankan fungsinya secara efektif bahkan nyaris tidak pernah dijalankan dalam pelanggaran ketenagakerjaan di Kabupaten Sukabumi. Maka tidaklah heran kalau pelanggaran hukum yang paling banyak bisa dipastikan merupakan pelanggaran hukum ketenagakerjaan, dan penegakan hukum yang paling minim juga bisa dipastikan adalah penegakan hukum dibidang hukum ketenagakerjaan.
Begitu juga dengan upaya-upaya supervise berupa kunjungan-kunjungan kerja yang dilakukan pejabat pemerintah daerah dan Anggota DPRD Kab. Sukabumi selama ini cenderung hanya bersifat formalitas dan tidak member efek apapun terhadap perbaikan penerapan hukum ketenagakerjaan di lapangan karena mereka hanya mengunjungi perusahaan-perusahaan besar saja yang relative penerapan aturannya sudah baik, dan lucunya yang dikunjunginya perusahaannya itu-itu juga. Sementara perusahaan-perusahaan yang tingkat pelanggarannya relative tinggi tidak pernah dikunjungi oleh pejabat daerah dan Anggota DPRD. Lucu kan…?
8. MASALAH MENGALIRNYA INVESTASI BARU KARENA UPAH BURUH MURAH. ikorbankan.
Kita memang patut bersyukur dengan mengalirnya investasi ke Kabupaten Sukabumi, karena mengalirnya investasi ke Kabupaten Sukabumi jelas merupakan berkah bagi masyarakat dan Pemerintah Kabupaten Sukabumi. Dengan mengalirnya investasi tersebut selain bisa menciptakan lapangan kerja, menggerakkan roda ekonomi dan juga bisa mendatangkan pendapatan bagi pemerintah daerah berupa pajak dan retrebusi.
Selama ini mengalirnya investasi baru khususnya pada sektor padat karya seperti garment dan elektronik serta yang lainnya lebih didasarkan pada pertimbangan karena Kabupaten Sukabumi mempunyai daya tarik biaya buruh/pekerja atau upah (labour cost) yang rendah dibandingkan dengan daerah lain seperti JABODETABEK dan sekitarnya.
Kondisi tersebut tentunya sangat tidak menguntungkan bagi pekerja dan serikat pekerja/serikat buruh yang ada di Kabupaten Sukabumi. Disatu sisi pekerja/buruh menuntut peningkatan kesejahteraan melalui kenaikan upah yang tinggi sementara pada sisi lain kita masih membutuhkan banyak investasi baru untuk menanggulangi tingkat pengangguran yang masih tinggi di daerah ini.
Disamping itu juga setiap kali disampaikan terhadap para pengusaha untuk menaikkan upah, mayoritas pengusaha selalu beralibi bisa menaikkkan upah asalkan biaya siluman (invisible cost) dihilangkan dan infrastruktur khususnya jalan harus segera dibenahi.
Sehingga upaya membuka kemudahan dalam kebijakan investasi harus dibarengi dengan upaya menekan biaya siluman, tindakan selektif dan hati-hati dalam menerima investasi dan juga perbaikan infrastruktur khususnya jalan yang kondisinya sekarang ini sangat memprihatinkan dan menimbulkan efek ekonomi biaya tinggi bagi pengusaha.
DISAMPING ITU JUGA KEBIJAKAN INVESTASI YANG DIBUAT OLEH PEMERINTAH DAERAH HARUS MEMBERIKAN JAWABAN TERHADAP TIDAK SEIMBANGNYA PROPORSI ANTARA TENAGA KERJA PEREMPUAN DENGAN TENAGA KERJA LAKI-LAKI. DALAM ARTIAN UPAYA MENARIK INVESTASI BARU INI HARUS LEBIH DIFOKUSKAN UNTUK BISA MENAMPUNG ATAU MENYERAP TENAGA KERJA LAKI-LAKI DIBANDINGKAN DENGAN TENAGA KERJA PEREMPUAN, KARENA KONDISI SAAT INI JUMLAH PENGANGGURAN LEBIH BANYAK LAKI-LAKI DARIPADA PEREMPUAN.
UPAYA TERSEBUT PERLU DILAKUKAN KARENA APABILA TIDAK SEGERA DITANGGULANGI TIDAK SAJA AKAN MEMPENGARUHI KONDISI HUBUNGAN INDUSTRIAL YANG BISA MEMPENGARUHI KONDISI INVESTASI YANG KURANG KONDUSIF, TAPI UNTUK JANGKA MENENGAH DAN JANGKA PANJANG BISA MENIMBULKAN KERESAHAN SOSIAL (SOCIAL UNREST) DALAM ARTIAN YANG LEBIH LUAS.
Disamping itu, mengalirnya investasi harus diimbangi juga dengan peningkatan upah buruh yang disesuaikan dengan kebutuhan hidup layak bagi buruh sebagaimana dijanjikan oleh Bupati Sukabumi dalam beberapa kesempatan.
Berdasarkan beberapa pemaparan diatas, kami merasa perlu untuk menyampaikan pernyataan sikap sebagi berikut :
1. Khusus untuk menyikapi kasus PT. Davomas Abadi Tbk –Sukabumi kami mendesak Bupati Sukabumi untuk melakukan hal-hal sebagai berikut :
a. Segera mencabut izin usaha PT. Davomas Abadi Tbk – Sukabumi sebagaimana yang dijanjikan bupati di beberapa media beberapa waktu lalu, karena sampai saat ini perusahaan tidak mempunyai itikad baik untuk memenuhi hak-hak buruh.
b. Segera melakukan komunikasi dengan pihak-pihak atau lembaga yang berkaitan dengan keberadaan perijinan PT. Davomas Abadi Tbk seperti Bapepam - LK dan Bursa Efek Indonesia mengingat selama ini PT. Davomas Abadi Tbk melakukan pengingkaran terhadao keberadaan pabriknya yang ada di Sukabumi.
c. Mendesak pemerintah daerah untuk segera menyediakan dana talangan untuk memenuhi hak-hak buruh khususnya buruh PT. Davomas Abadi Tbk yang selama 3 bulan ini upahnya belum dibayarkan oleh pengusaha. Tuntutan ini merasa perlu kami sampaikan agar pemerintah mempunyai greget dan sikap yang jelas serta keberpihakan terhadap buruh, mengingat selama ini pemerintah hanya bisa mengatakan ‘nanti kita bantu, nanti kita usahakan, nanti kita panggil … ini dan itu… sementara ketika hak-hak buruh diabaikan oleh pengusaha pemerintah tidak bisa melakukan apa-apa.
Dan menurut kami tuntutan itu sangat wajar, karena selama ini untuk masyarakat lain yang kurang beruntung saja pemerintah menyediakan dana triliyunan rupiah, masa untuk masyarakat produktif seperti buruh yang jelas-jelas berkontribusi buat negara tidak bisa dibantu oleh pemerintah.
2. Mendesak Kejaksaan Agung RI dan aparat terkait untuk melakukan pembekuan asset milik PT. Davomas Abadi Tbk dan melakukan cekal terhadap semua jajaran Komisaris dan Direksi PT. Davomas Abadi Tbk karena dikhawatirkan mereka melarikan diri keluar negeri sehingga tidak bisa memenuhi hak-hak buruh PT. Davomas Abadi Tbk – Sukabumi yang selama ini dibiarkan oleh PT. Davomas Abadi Tbk.
3. Mendesak aparat penegak hukum untuk segera menyita dan mengamankan asset-asset PT. Davomas Abadi Tbk yang ada di Sukabumi mengingat keberadaan asset itu sangat diperlukan sebagai jaminan untuk memenuhi hak-hak buruh termasuk untuk memenuhi pesangon buruh yang telah dimenangkan dalam putusan MA yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap yang sampai saat ini belum dibayarkan oleh PT. Davomas Abadi Tbk.
4. Mendesak pemerintah daerah untuk menindak tegas perusahaan-perusahaan yang memberlakukan sistek kerja kontrak/PKWT dan outsourcing tetapi menyimpang atau menyalahi ketentuan yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan
Dan ke depan kami menginginkan sistem kerja kontrak dan outsourcing ini dihapuskan dari Undang-Undang Ketenagakerjaan. Karena keberadaanya tidak saja menimbulkan ketidakpastian bagi pekerja, tapi juga memberikan implikasi luas yang menyebabkan pekerja menjadi tidak berdaya dan tidak mempunyai posisi tawar dihadapan pengusaha karena hak dasarnya untuk berserikat sulit untuk diimplementasikan karena setiap waktu dihantui ketakutan diakhirnya masa kontrak oleh pihak pengusaha.
5. Mendesak pemerintah daerah untuk segera menindak tegas perusahaan yang tidak mengikutsertakan pekerjanya menjadi PESERTA JAMSOSTEK. Karena JAMSOSTEK merupakan hak dasar bagi setiap pekerja, merupakan kewajiban hukum bagi setiap pengusaha untuk memenuhinya. Sehingga terhadap mereka yang tidak menjalankan kewajiban tersebut harus segera diambil tindakan tegas sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
6. Mendesak pemerintah daerah untuk menindak tegas perusahaan yang mempekerjakan pekerja melebihi jam kerja yang ditentukan tapi tidak mau membayar upah kerja lemburnya.
7. Mendesak pemerintah daerah untuk menindak tegas pengusaha/perusahaan yang membayar upah pekerja dibawah upah minimum kabupaten dan/atau upah minimum sektoral yang berlaku di Kabupaten Sukabumi.
8. Mendesak pemerintah daerah untuk serius melakukan upaya-upaya sistematis dalam memberikan perlindungan terhadap pekerja perempuan, mengingat pekerja perempuan menempati proporsi terbesar dalam komposisi tenaga kerja yang ada di Kabupaten Sukabumi. Dan, pemerintah juga harus segera menindak perusahaan yang tidak menyediakan angkutan bagi pekerja yang dipekerjakan pada malam hari, karena kalau tidak disediakan angkutan bagi pekerja yang melakukan pekerjaan pada malam hari khsususnya bagi pekerja perempuan dikhawatirkan akan mengganggu keselematan bagi pekerja itu sendiri.
9. Mendesak pemerintah daerah untuk segera meningkatkan kinerja pengawas ketenagakerjaan yang ada di Kabupaten Sukabumi dengan cara meningkatkan kwalitas kinerja, menambah personil karena keberadaanya yang masih sedikit, mengefektifkan peran penindakan atau PPNS dalam ketenagakerjaan serta menertibkan oknum pengawas ketenagakerjaan yang dinilai menyimpang.
10. Mendesak pemerintah daerah untuk lebih serius melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap keberadaan tenaga kerja asing yang ada di Kabupaten Sukabumi.
Demikian pernyataan sikap ini kami sampaikan. Semoga Allah SWT, Tuhan Yang Mahakuasa senantiasa memberikan kemudahan bagi kita semua. Amien...

Sukabumi, 30 April 2009
Biro Humas dan Komunikasi Media
DPC K-SPSI KABUPATEN SUKABUMI
K e t u a,


DADENG NAZARUDIN